Setelah manggung di pentas politik nasional
dengan cara “sim salabim”, mampukah Gibran dan Kaesang, juga Bobby Nasution,
bertahan pasca-lengsernya Jokowi?
Pada
20 Oktober 2024, Joko Widodo, atau yang lebih akrab disapa Jokowi, akan resmi
meninggalkan kursi presiden setelah dua periode berkuasa.
Lain
dari presiden-presiden sebelumnya-bahkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), ayah dua putra yang kemudian terjun pula ke arena politik-turunnya
Jokowi diiringi wacana yang santer di publik berkaitan dengan anak-anak dan
menantunya.
Mengapa? Karena tampaknya momen lengsernya
Jokowi itu menjadi babak baru dalam karier politik keluarganya.
Terutama
untuk kedua putranya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, serta sang
menantu, Bobby Nasution. Ketiganya sekarang tengah berada di panggung politik,
nasional dan lokal.
Yang
membuat “lain’’, perjalanan karier politik mereka tak sepi, kalau tak boleh
dibilang dipenuhi, dengan kontroversi dan keraguan publik. Gibran, yang kini
menjabat wakil presiden terpilih; Kaesang sang ketua umum Partai Solidaritas
Indonesia (PSI), bahkan Bobby, dinilai meraih posisi tersebut secara instan dan
kontroversial. Satu hal yang wajar memicu pertanyaan besar tentang kapasitas
mereka di dunia politik.
Politik
“Sim Salabim” Gibran-Kaesang
Keberhasilan
Gibran dan Kaesang dalam menduduki posisi strategis di panggung politik
nasional tidak terlepas dari nama besar ayah mereka. Itu off-side? Tentu saja
tidak. Terlalu banyak contoh tokoh politisi nasional yang muncul karena
dominannya sisi genealogis alias faktor keturunan. Kita akan mual sendiri kalau
mencoba menghitungnya, dari ujung Barat sampai Timur Indonesia.
Yang
cenderung membuat publik keberatan, sejatinya karena instannya proses Gibran,
Kaesang, dan juga Bobby. Keberatan yang wajar, mengingat yang mereka sandang
adalah jabatan yang pada pundak mereka nasib warga dipertaruhkan. Proses
super cepat yang mereka jalani, sejatinya, itulah yang membuat banyak
pengamat politik mempertanyakan apakah keduanya benar-benar siap.
"Ini benar-benar sebuah proses politik
instan yang sangat mengejutkan," kata Lucius Karus, peneliti dari Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). "Gibran dan Kaesang
terjun ke dunia politik dengan kecepatan yang tidak wajar, yang tentu menimbulkan
tanda tanya tentang kesiapan mereka secara kapasitas dan mentalitas."
Tak
ada warga yang keberatan ketika mereka berdua ‘hanya’ jadi pengusaha. Apalagi
saat itu keduanya tampak menikmati betul kiprah mereka dalam mencetak uang dan
membuka lapangan kerja.
"Kalau
jadi pebisnis, saya tertarik, tapi kalau (jadi) politikus, tidak," kata
Gibran di Cikini, Jakarta Pusat, pada Minggu 11 Maret 2018, sebagaimana dikutip
Tempo.co. Pengakuan yang sama juga dilontarkan sang adik, Kaesang Pangarep,
belum lagi lima tahun lalu. "Orang-orang kayak saya enggak pantes nanti di
politik,”kata Kaesang dalam sebuah podcast yang dipandu Deddy Corbuzier, yang
dikutip Kompas.com pada 21 September 2021. “Makanya, pantesnya untuk punya
bisnis aja," ucap Kaesang menambahkan.
Ibaratnya, belum lagi ludah itu jatuh ke
bumi, keduanya segera menjulurkan lidah dan menelannya kembali. Kita tahu,
keduanya kini aktif berpolitik, dan susah untuk menafikan betapa peran sang
bapak, Jokowi, dominan dalam langkah-langkah keduanya.
Kurang
dari setahun setelah “ngeles” soal tak tertarik politik itu, Gibran tanpa
basa-basi justru mendaftarkan diri sebagai kader PDI Perjuangan (PDIP) pada
2019. Melalui Pimpinan Anak Cabang (PAC) Banjarsari, Surakarta, dirinya resmi
membuat Kartu Tanda Anggota (KTA). Setahun setelah itu, mengikuti jejak
sang bapak, Gibran resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon walikota Solo,
2020 lalu. Dengan pesona Jokowi yang masih menyihir warga Solo, Gibran
terpilih sebagai walikota Solo dalam Pilkada serentak 2020. Pada Kamis, 21
Januari 2021, Gibran pun resmi menjadi walikota terpilih.
Cukup?
Kita tahu, tidak. Seolah belum puas akan manisnya kekuasaan, Gibran pun
digadang-gadang untuk maju sebagak wakil presiden dalam Pilpres 2024,
mendampingi Prabowo Subianto. Sekian banyak politisi senior dan berpengalaman,
para ketua umum partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia
Maju (KIM), pun menyisih, memberi jalan buat Gibran. Nama-nama ketua umum
parpol yang sebelumnya sering disebut-sebut sebagai calon presiden/calon wakil
presiden, seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Agus Yudhoyono, pun
segera tersingkir kehilangan kesempatan demi Gibran.
Jangan lupa, proses pengusungan Gibran
sebagai wakil presiden ini sempat menimbulkan gejolak politik dan sosial. Salah
satu yang paling disorot adalah soal putusan Mahkamah konstitusi untuk
menerima uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 tahun 2017
mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres). Saat itu MK memutuskan untuk menerima perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023
yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru pada Senin, 16
Oktober 2023.
Lewat
perubahan klausul menjadi “… 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota…”, Gibran memenuhi syarat
sebagai calon wakil presiden. Penolakan publik pun meruak hebat, demonstrasi
memenuhi jalan-jalan Jakarta dan ibu kota-ibu kota provinsi. Majalah TEMPO
bahkan sampai menyebut Gibran “anak haram Konstitusi” gara-gara urusan di
Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
Sukar
sungguh untuk menafikan kemungkinan besarnya andil Jokowi dalam putusan MK itu.
Bagaimanapun Anwar Usman, ketua MK saat itu, merupakan adik ipar Jokowi, yang
otomatis juga merupakan paman Gibran.
"Putusan
MK ini sangat mencurigakan karena ada dugaan campur tangan Jokowi dalam proses
pengambilan keputusan ini, mengingat Ketua MK adalah adik ipar Jokowi,"
ujar pengamat hukum tata negara, Refly Harun, saat itu.
Namun
bukan cuma urusan prosesnya yang dipersoalkan rakyat. Kualifikasi Gibran juga
banyak dipertanyakan. Salah satunya secara terbuka oleh pemilik akun
@arkham_87, yang mengunggah penilaian bahwa Gibran bahkan tidak paham akan
permainan sepak bola dan lebih fokus dalam memanfaatkan nepotisme. "Tahu
apa dia (Gibran) soal bola tahunya cuma dikasih jabatan saja," tulis
@arkhamL87 yang kami kutip verbatim.
Sang adik, Kaesang Pangarep, juga tidak lepas
dari kritik tajam. Pasalnya, baru beberapa hari bergabung dengan PSI, ia
langsung ditunjuk sebagai ketua umum, melangkahi prosedur partai yang sudah
ada.
Tetapi
sebagai partai yang sejak awal diendus publik dibangun dan disiapkan untuk
Jokowi dan keluarga, pihak PSI sendiri membantah soal itu. Wakil Ketua Dewan
Pembina PSI, Grace Natalie, berdalih bahwa penunjukan Kaesang itu tidak
melanggar AD/ART. Grace malah menjelaskan kalau komunikasi PSI dan Kaesang
sudah berjalan cukup lama. Tanpa menjelaskan AD/ART PSI, Grace mengaku bahwa
komunikasi selama ini tersebut sudah membuat Kaesang sangat kenal-mengenal
orang-orang PSI.
"Komunikasi
PSI dan Mas Kaesang sudah berjalan cukup lama, ada interaksi informal, ada
beberapa yang pernah diundang podcast. Interaksi itu yang membuat Mas Kaesang
menjadi kenal lebih jauh orang-orang PSI," kata Grace, sebagaimana dimuat
beberapa media pada Selasa, 27 September 2023.
Adapun
tentang kinerja Kaesang sebagai ketua umum PSI, meski terkesan berbelit-belit
dan sangat hati-hati, peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa,
secara tersirat menegaskan belum optimalnya putra kedua Jokowi tersebut.
Ardha sendiri mengakui adanya kontroversi seputar pengangkatan Kaesang sebagai
ketua umum PSI tersebut. “…memang cukup kontroversial ya, dengan hanya
dua atau tiga hari menjadi anggota, kemudian menjadi ketua umum,” kata
Ardha.
Meski
ia mengapresiasi kenaikan suara PSI dari sekitar 1,85 persen pada Pemilu 2019,
menjadi 2,806 persen pada Pemilu 2024, ia mengaku hal itu tak bisa dilepaskan
dari pengaruh Jokowi, bukan Kaesang. Sementara pada sisi wacana politik, ia
melihat kontribusi Kaesang justru nyaris tak ada.
“Praktis saya belum melihat adanya kontribusi
Kaesang kalau melihat di tataran ini. Bahkan secara umum kita lebih melihat
tokoh-tokoh terdepan PSI, katakanlah kayak Ade Armando atau misalnya Chairil
Tanzil, sebagai jubir-jubir PSI, (yang lebih mengemuka),” kata dia.
Sebagai
warga negara, Ardha mengaku berharap ketika Jokowi pada saatnya tidak berkuasa
lagi, ia ingin Kaesang mampu membuktikan diri. “Saya berharap, kemudian Kaesang
mampu membuktikan dirinya bahwa dia memang pantas berada di posisi
tersebut,”kata dia.
Penilaian
yang lebih lugas justru datang dari peneliti di Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad. "PSI di bawah Kaesang? Jujur, ini
lebih mirip dengan langkah pragmatis untuk mendompleng nama besar Jokowi
daripada membangun kepemimpinan partai yang kuat," kata Saidiman.
Masa
Depan Politik Anak-Mantu ‘Pakde’
Tak
hanya itu, Gibran dan Kaesang kerap kali juga menjadi sorotan karena sikap dan
tindakan mereka yang dinilai belum mencerminkan etika politik yang baik.
Baru-baru ini Gibran, misalnya, terjebak dalam kontroversi ketika jejak digital
lamanya di forum Kaskus kembali muncul.
Dalam
forum tersebut, ia menghina Prabowo Subianto, presiden terpilih dan mitranya di
pemerintahan ke depan, dengan kata-kata yang kurang pantas seperti
"cerai" dan "stroke", serta menyebut anak Prabowo dengan
komentar yang bernada homofobik. Dalam situasi di mana Gibran sekarang harus
bekerja sama dengan Prabowo, hubungan keduanya tentu akan sangat menarik untuk
diperhatikan.
"Bagaimana
mungkin Gibran bisa menjadi mitra yang baik bagi Prabowo, ketika dia pernah
menghina secara terang-terangan di masa lalu? Politik memang penuh dinamika,
tapi jejak digital sulit dihapus," kata Arie Sujito, seorang sosiolog dari
Universitas Gadjah Mada (UGM). Publik pun masih mempertanyakan bagaimana
Prabowo akan memperlakukan Gibran setelah mereka resmi dilantik nanti.
Kaesang,
di sisi lain, juga tengah terlibat dalam skandal hidup hedonis di saat ekonomi
warga bangsa tengah sakit. Ia dan istrinya, Erina Gudono, diketahui berlibur ke
Amerika Serikat menggunakan jet pribadi mewah. Pesawat tersebut diketahui milik
Sea Group, perusahaan induk Shopee, yang memiliki hubungan bisnis dengan
Kaesang dan Gibran. "Kaesang harus bisa menjelaskan dengan jelas siapa
yang membiayai perjalanannya. Ini penting untuk menghindari kesan bahwa ia
menerima gratifikasi," ujar Tessa Mahardika, juru bicara KPK, yang kini
menelaah laporan kasus ini.
Setelah
Jokowi tak lagi menjadi presiden, nasib politik kedua anaknya masih menjadi
tanda tanya besar. Apakah mereka bisa bertahan tanpa dukungan langsung dari
Jokowi? Para pengamat politik sepakat bahwa baik Gibran maupun Kaesang masih
harus membuktikan kemampuan mereka tanpa bergantung pada pengaruh ayah mereka.
"Gibran dan Kaesang sejauh ini masih
menunggangi nama besar Jokowi. Tantangan terbesar mereka adalah membuktikan
bahwa mereka bisa mandiri," kata Ardha Ranadireksa dari Charta
Politika. Menurutnya, langkah Gibran untuk menjadi Wakil Presiden dan
Kaesang sebagai Ketua PSI sangat dipengaruhi oleh kedekatan mereka dengan
Jokowi. "Kita baru bisa menilai mereka secara objektif setelah Jokowi
benar-benar tidak lagi berkuasa," tambahnya.
Saidiman
Ahmad juga memberikan analisis serupa. "PSI di bawah kepemimpinan Kaesang
belum menunjukkan hasil signifikan. Meski ada peningkatan suara pada Pemilu
2024, partai ini masih jauh dari ambang batas parlemen. Banyak yang menilai
bahwa Kaesang hanya dipasang sebagai simbol politik, bukan karena kemampuan
nyata dalam memimpin partai," jelas Saidiman.
Bahkan,
ia menambahkan, "Jika Jokowi tak lagi ada di panggung politik, nasib PSI
bisa sangat tergantung pada kemampuan Kaesang untuk bertahan di dunia politik
yang keras."
Selain
Gibran dan Kaesang, nasib Bobby Nasution juga layak untuk dipertanyakan. Ia
sukses meraih jabatan wali Kota Medan berkat nama besar sang mertua.
"Bobby memiliki tantangan yang sama dengan Gibran dan Kaesang. Setelah
Jokowi tak lagi berkuasa, Bobby harus menunjukkan bahwa dia layak berada di posisi
ini, bukan hanya karena dia menantu presiden," ujar Dedi Kurnia Syah,
direktur eksekutif Indonesia Political Opinion.
Masa
depan Bobby di dunia politik juga akan sangat bergantung pada bagaimana ia bisa
menjaga kekuatannya tanpa dukungan langsung dari Jokowi. "Jika dia mampu
membangun dukungan di Medan dengan baik, Bobby bisa terus berkembang. Tapi
tanpa Jokowi, semua jadi lebih sulit," kata Dedi.
Mampukah
Mereka Bertahan?
Ketika
Jokowi lengser dari kursi presiden, Gibran, Kaesang, dan Bobby akan menghadapi
dunia politik yang jauh lebih keras dan tanpa "pelindung" utama
mereka. Gibran harus membuktikan bahwa ia mampu bekerja sama dengan Prabowo,
meskipun hubungan mereka di masa lalu diwarnai dengan hinaan.
Kaesang,
sebagai ketua umum PSI, perlu menunjukkan bahwa ia bisa memimpin partai tanpa
hanya mengandalkan popularitas nama Jokowi. "Politik Indonesia bukan arena
yang mudah, dan Gibran serta Kaesang akan diuji secara serius setelah ayah
mereka tak lagi memegang kekuasaan. Ini adalah momen penting bagi mereka untuk
menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri," kata Lucius
Karus.
Apakah
mereka bisa bertahan atau tidak, itu tergantung dari bagaimana mereka beradaptasi
dan mengambil langkah strategis di masa depan. Bagi publik, Gibran, Kaesang,
dan Bobby bukan hanya simbol generasi penerus Jokowi, tetapi juga cerminan dari
seberapa jauh mereka bisa lepas dari bayang-bayang sang ayah.
COMMENTS